Senin, 24 Juni 2013

Pengaruh HIV/AIDS Terhadap Ibu Hamil

MAKALAH
PENGARUH VIRUS HIV/AIDS PADA IBU HAMIL


  



Disusun Oleh :
Mariati Azis
31410003



PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA MADIUN
2013
 KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul ” Pengaruh Virus HIV/AIDS Pada Ibu Hamil“. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah  Patofisiologi Program Studi Biologi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Katolik Widya Mandala Madiun.
Selain itu, penyusun menyadari dalam penyusunan makalah ini banyak kekurangan dan banyak kesalahan. Oleh karena itu dimohon kritik dan sarannya.
                                                                                                                 
                                                                                                    Madiun, April 2013
                                                                                                            Penyusun;

                                                                                                       MARIATI AZIS














DAFTAR ISI

                                                                                                                Hal.
Kata Pengantar.....................................................................................    i          
Daftar Isi..............................................................................................     ii
BAB I
PENDAHULUAN
I.       1. Latar Belakang ..........................................................................     1
I.       2. Tujuan Penulisan........................................................................     3
I.       3. Perumusan Masalah...................................................................      4
I.       4. Manfaat Penulisan......................................................................     4
I.       5. Metode Penulisan.......................................................................     4
BAB II
PEMBAHASAN
            II.    1. Pengertian HIV/AIDS...............................................................     4
            II.    2. Gejala-Gejala Penyakit HIV/AIDS...........................................     8
            II.    3. Penularan Penyakit HIV/AIDS.................................................     10
            II.    4. Penanganan Penyakit HIV/AIDS..............................................     13
            II.    5. Pencegahan Penyakit HIV/AIDS..............................................     17
BAB III
PENUTUP
I           III. 1. Kesimpulan................................................................................     20
            III. 2. Saran..........................................................................................     21
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................   21

BAB I
PENDAHULUAN
I.     1. Latar Belakang
Kehamilan merupakan peristiwa alami yang terjadi pada wanita, namun kehamilan dapat mempengaruhi kondisi kesehatan ibu dan janin terutama pada kehamilan trimester pertama. Wanita hamil trimester pertama pada umumnya mengalami mual, muntah, nafsu makan berkurang dan kelelahan. Menurunnya kondisi wanita hamil cenderung memperberat kondisi klinis wanita dengan penyakit infeksi antara lain infeksi HIV-AIDS.
Penyakit AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu syndrome/kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Retrovirus yang menyerang sistem kekebalan atau pertahanan tubuh. Dengan rusaknya sistem kekebalan tubuh, maka orang yang terinfeksi mudah diserang penyakit-penyakit lain yang berakibat fatal, yang dikenal dengan infeksi oportunistik. Kasus AIDS pertama kali ditemukan oleh Gottlieb di Amerika Serikat pada tahun 1981 dan virusnya ditemukan oleh Luc Montagnier pada tahun 1983 (Yopan, 2012).
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah penyebab penyakit dan kematian yang terkemuka di kalangan perempuan dan anak-anak di negara-negara dengan tingkat infeksi human immunodeficiency virus (HIV) yang tinggi. Transmisi HIV dari ibu ke anak (Mother To Child Transmission – MCTC) adalah rute infeksi HIV pada anak yang paling signifikan. Beberapa intervensi telah terbukti efektif dalam mengurangi MTCT termasuk pilihan persalinan secara caeseran, substitusi menyusui dan terapi antiretroviral selama kehamilan, persalinan, dan pasca melahirkan. Jika intervensi ini diterapkan dengan benar maka dapat mengurangi MTCT sebesar 2% (Yopan, 2012) .
Jumlah penderita penyakit HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/ Acquaired Immune Deficiency Syndrome) di dunia maupun di Indonesia, baik pada orang dewasa maupun anak semakin meningkat jumlahnya setiap tahun. Diduga jumlah kasus HIV/AIDS ini menyerupai fenomena gunung es, yaitu kasus yang diketahui hanya sekitar 1/10 dari jumlah kasus yang sebenarnya (Gemari, 2010 dalam Yopan, 2012). Penyakit HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit pembunuh terbesar di dunia. Hal ini karena pada Januari 2006, UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Sejak HIV menjadi pandemi di dunia, diperkirakan 5,1 juta anak di dunia terinfeksi HIV. Setiap tahun sekitar 400.000 bayi dilahirkan terinfeksi HIV akibat penularan dari ibu ke anak (penularan vertical). Di Indonesia, hingga Maret 2011, jumlah anak penderita HIV/AIDS mencapai 1.119 orang, dengan jumlah penderita dibawah lima tahun dilaporkan mencapai 514 anak (Depkes, 2011 dalam Yopan, 2012). Dilaporkan juga sebanyak 34 anak usia bawah lima tahun (balita) di propinsi Papua positif mengidap infeksi HIV(Judarwanto, 2010 dalam Yopan, 2012).
Kasus HIV/AIDS di negara berkembang sungguh sangat mengerikan karena kasusnya mengalami kenaiakan yang luar biasa yang mempengaruhi angka kesakitan dan kematian pada penduduk usia produktif. Dan hal ini  berdampak sangat buruk terhadap pembangunan sosial ekonomi suatu bangsa dan dapat menyebabkan usia harapan hidup menjadi terhambat atau bahkan menjadi mundur. Selanjutnya dapat mengancam kehidupan penduduk bahkan kehidupan sebuah bangsa. Di Indonesia telah dilaporkan pula kasus HIV/AIDS pada bayi yang tertular dari ibunya yang mengidap HIV dan pada remaja yang tertular karena berperilaku berisiko.
Dampak dari permasalahan pada anak tersebut diatas dapat mengarah pada penyebar luasan  HIV/ AIDS antara lain melalui hubungan sex yang tidak aman maupun melalui penggunaan jarum suntik yang tidak steril oleh penyalahguna narkoba.
Ini semua dapat terjadi pada anak/ remaja penyalahguna narkoba, anak jalanan, anak/remaja tuna susila atau yang dieksploitasi, anak/remaja nakal karena mereka termasuk kelompok yang rentan terhadap penularan HIV/AIDS selain itu pengetahuan mereka terhadap permasalahan HIV/ AIDS masih sangat kurang. Untuk itu perlu diadakan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/ AIDS terhadap kelompok-kelompok rawan, masyarakat termasuk kepada anak/remaja.
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional menyatakan bahwa saat ini jumlah ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya, sementara jumlah pekerja seks komersil yang terinfeksi HIV terus menurun. Hal ini diduga disebabkan oleh penularan HIV dari suami atau pasangan intim yang memiliki perilaku beresiko. Keadaan ini dapat meningkatkan resiko penularan dari ibu ke anak. Dengan demikian permasalahan HIV harus segera ditangani dengan baik. Bila tidak ditangani, epidemi HIV akan merambat masuk ke dalam keluarga dan masyarakat umum (KPA, 2010 dalam Yopan, 2012).
Semakin tingginya jumlah penderita penyakit ini di Indonesia, selain membebani pembiayaan sistem kesehatan juga menimbulkan dampak sosial ekonomi yang tak sedikit karena sebagian besar penderita berada dalam usia produktif (20-39 tahun). Hal ini memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia sehingga mengakibatkan berkurangnya daya saing bangsa dalam percaturan global dunia. Makin bertambahnya jumlah penderita HIV/AIDS terutama pada anak dan wanita menyebabkan terancamnya Millenium Developmental Goals 2015 (4,5, dan 6) (Syafrawati, 2006 dalam Yopan, 2012).
I.      2. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.    Mengetahui tentang HIV/AIDS
2.    Mengetahui gejala penyakit HIV/AIDS
3.    Mengetahui cara penularan penyakit HIV/AIDS
4.    Memahami pengobatan penanganan penyakit HIV/AIDS
5.    Mengetahui Pencegahan  penyakit HIV/AIDS pada ibu hamil
I.         3. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang terdapat dalam makalah ini, antara lain:
1.    Apa pengertian HIV/AIDS ?
2.    Apa gejala-gejala orang yang mengidap penyakit HIV/AIDS ?
3.    Bagaimana penularan penyakit HIV/AIDS?
4.    Bagaimana pengobatan/ penanganan penyakit HIV/AIDS ?
5.    Bagaimana pencegahan penyakit HIV/AIDS pada ibu hamil ?
I.         4. Manfaat Penulisan
1.    Adapun manfaat memberikan informasi kepada pembaca tentang pengertian, penyebab, penularan, pencegahan dan penanganan HIV/AIDS.
I.         5. Metode Penulisan
1.    Makalah ini disusun dengan menggunakan metode pustaka yaitu metode pengumpulan data dengan cara mengutip sumber-sumber tertulis.

BAB II
PEMBAHASAN
II.      1. Pengertian HIV/AIDS
Menurut Andy (2011), Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV. Virus penyebab adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih, sehingga melemahkan kekebalan manusia dan menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Orang yang terinfeksi virus ini menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor/kanker. Meskipun penanganan yang ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum bisa disembuhkan.
Virus HIV menyerang sel putih dan menjadikannya tempat berkembang biaknya Virus. Sel darah putih sangat diperlukan untuk sistem kekebalan tubuh. Tanpa kekebalan tubuh maka ketika tubuh kita diserang penyakit, Tubuh kita lemah dan tidak mampu melawan penyakit yang datang dan akibatnya kita dapat meninggal dunia meski terkena influenza atau pilek biasa (Andy, 2011).
Ketika tubuh manusia terkena virus HIV maka tidaklah langsung menyebabkan atau menderita penyakit AIDS, melainkan diperlukan waktu yang cukup lama bahkan bertahun-tahun bagi virus HIV untuk menyebabkan AIDS atau HIV positif yang mematikan (Andy 2011).
Menurut Ayu (2012), HIV, virus penyebab AIDS, juga dapat menular dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya. Tanpa upaya pencegahan, kurang-lebih 30 persen bayi dari ibu yang terinfeksi HIV menjadi tertular juga. Ibu dengan viral load tinggi lebih mungkin menularkan HIV kepada bayinya. Namun tidak ada jumlah viral load yang cukup rendah untuk dianggap "aman". Infeksi dapat terjadi kapan saja selama kehamilan, namun biasanya terjadi beberapa saat sebelum atau selama persalinan. Bayi lebih mungkin terinfeksi bila proses persalinan berlangsung lama. Selama persalinan, bayi yang baru lahir terpajan darah ibunya. Meminum air susu dari ibu yang terinfeksi dapat juga mengakibatkan infeksi pada si bayi. Ibu yang HIV-positif sebaiknya tidak memberi ASI kepada bayinya. Untuk mengurangi risiko infeksi ketika sang ayah yang HIV-positif, banyak pasangan yang menggunakan pencucian sperma dan inseminasi buatan.
AIDS bukan penyakit turunan, oleh sebab itu dapat menulari siapa saja.Virusnya sendiri bernama HIV yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor . Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan. Penyakit ini kadang disebut “infeksi oportunistik”, karena penyakit ini menyerang dengan cara memanfaatkan kesempatan ketika kekebalan tubuh menurun sehingga kanker dan infeksi oportunistik inilah yang dapat menyebabkan kematian.
Kehamilan merupakan usia yang rawan tertular HIV-AIDS. Penularan HIV-AIDS pada wanita hamil terjadi melalui hubungan seksual dengan suaminya yang sudah terinfeksi HIV (Ayu, 2012). Pada negara berkembang isteri tidak berani mengatur kehidupan seksual suaminya di luar rumah. Kondisi ini dipengaruhi oleh sosial dan ekonomi wanita yang masih rendah, dan isteri sangat percaya bahwa suaminya setia, dan lagi pula masalah seksual masih dianggap tabu untuk dibicarakan.
Virus HIV dikenal secara terpisah oleh para peneliti di Institut Pasteur Perancis  pada tahun 1983 dan NIH yaitu sebuah institut kesehatan nasional di Amerika Serikat pada tahun 1984. Meskipun tim dari Institute Pasteur Perancis yang dipimpin oleh Dr. Luc Montagnie, yang pertama kali mengumumkan penemuan ini di awal tahun 1983 namun penghargaan untuk penemuan virus ini tetap diberikan kepada para peneliti baik yang berasal dari Perancis maupun Amerika. Peneliti Perancis memberi nama virus ini LAV atau Lymphadenopathy Associated Virus. Tim dari Amerika yang dipimpin Dr. Robert Gallo menyebut virus ini HTLV-3 atau Human T-cell Lymphotropic Virustype-3 (Ayu, 2012).
Kemudian Komite Internasional untuk Taksonomi Virus memutuskan untuk menetapkan nama Human Immunodeficiency Virus (HIV) sebagai nama yang dikenal sampai sekarang. Maka para peneliti tersebut juga sepakat untuk menggunakan istilah HIV. Sesuai dengan namanya, virus ini “memakan” imunitas tubuh (Ayu, 2012).
AIDS pertama kali dilaporkan pada tanggal 5 Juni 1981, ketika Centers for Disease Control and Prevention Amerika Serikat mencatat adanya Pneumonia pneumosistis (sekarang masih diklasifikasikan sebagai PCP tetapi diketahui disebabkan oleh Pneumocystis jirovecii) pada lima laki-laki homoseksual diLos Angeles (Ayu, 2012).
Dua spesies HIV yang diketahui menginfeksi manusia adalah HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 lebih mematikan dan lebih mudah masuk ke dalam tubuh. HIV-1 adalah sumber dari mayoritas infeksi HIV di dunia, sementara HIV-2 sulit dimasukan dan kebanyakan berada di Afrika Barat. Baik HIV-1 dan HIV-2 berasal dari primata. Asal HIV-1 berasal dari simpanse Pan troglodytes troglodytes yang ditemukan di Kamerunselatan. HIV-2 berasal dari Sooty Mangabey (Cercocebus atys), monyet dari Guinea BissauGabon, dan Kamerun (Ayu, 2012).
Banyak ahli berpendapat bahwa HIV masuk ke dalam tubuh manusia akibat kontak dengan primata lainnya, contohnya selama berburu atau pemotongan daging. Teori yang lebih kontroversial yang dikenal dengan nama hipotesis OPV AIDS, menyatakan bahwa epidemik AIDS dimulai pada akhir tahun 1950-an diKongo Belgia sebagai akibat dari penelitian Hilary Koprowski terhadap vaksin polio. Namun demikian, komunitas ilmiah umumnya berpendapat bahwa skenario tersebut tidak didukung oleh bukti-bukti yang ada (Ayu, 2012).
Menurut Ayu (2012), berdasarkan hal tersebut diatas  maka penderita AIDS dimasyarakat digolongkan kedalam 2 kategori yaitu :
1.    Penderita yang mengidap HIV dan telah menunjukkan gejala klinis (penderita AIDS positif).
2.    Penderita yang mengidap HIV, tetapi belum menunjukkan gejala klinis (penderita AIDS negatif).
Penyakit AIDS telah menjadi masalah internasional karena dalam waktu singkat terjadi peningkatan jumlah penderita dan melanda semakin banyak negara. Dikatakan pula bahwa epidemi yang terjadi tidak saja mengenai penyakit (AIDS ), virus (HIV) tetapi juga reaksi/dampak negatif berbagai bidang seperti kesehatan, sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan demografi. Hal ini merupakan tantangan yang harus dihadapi baik oleh negara maju maupun negara berkembang (Ayu, 2012).
Sampai saat ini obat dan vaksin yang diharapkan dapat membantu memecahkan masalah penanggulangan HIV/AIDS belum ditemukan. Salah satu alternatif dalam upaya menanggulangi problematik jumlah penderita yang terus meningkat adalah upaya pencegahan yang dilakukan semua pihak yang mengharuskan kita untuk tidak terlibat dalam lingkungan transmisi yang memungkinkan dapat terserang HIV (Ayu, 2012).
II.      2. Gejala-gejala Penyakit HIV/AIDS
Seseorang yang terkena virus HIV pada awal permulaan umumnya tidak memberikan tanda dan gejala yang khas, penderita hanya mengalami demam selama 3 sampai 6 minggu tergantung daya tahan tubuh saat mendapat kontak virus HIV tersebut. Setelah kondisi membaik, orang yang terkena virus HIV akan tetap sehat dalam beberapa tahun dan perlahan kekebelan tubuhnya menurun/lemah hingga jatuh sakit karena serangan demam yang berulang. Satu cara untuk mendapat kepastian adalah dengan menjalani Uji Antibodi HIV terutamanya jika seseorang merasa telah melakukan aktivitas yang berisiko terkena virus HIV (Andy, 2011).
Menurut Andy (2011), adapun tanda dan gejala yang tampak pada penderita penyakit AIDS diantaranya adalah seperti dibawah ini :
·      Saluran pernafasan. Penderita mengalami nafas pendek, henti nafas sejenak, batuk, nyeri dada dan demam seprti terserang infeksi virus lainnya (Pneumonia). Tidak jarang diagnosa pada stadium awal penyakit HIV AIDS diduga sebagai TBC.
·      Saluran Pencernaan. Penderita penyakit AIDS menampakkan tanda dan gejala seperti hilangnya nafsu makan, mual dan muntah, kerap mengalami penyakit jamur pada rongga mulut dan kerongkongan, serta mengalami diarhea yang kronik.
·      Berat badan tubuh. Penderita mengalami hal yang disebut juga wasting syndrome, yaitu kehilangan berat badan tubuh hingga 10% dibawah normal karena gangguan pada sistem protein dan energy didalam tubuh seperti yang dikenal sebagai Malnutrisi termasuk juga karena gangguan absorbsi/penyerapan makanan pada sistem pencernaan yang mengakibatkan diarhea kronik, kondisi letih dan lemah kurang bertenaga.
·      System Persyarafan. Terjadinya gangguan pada persyarafan central yang mengakibatkan kurang ingatan, sakit kepala, susah berkonsentrasi, sering tampak kebingungan dan respon anggota gerak melambat. Pada system persyarafan ujung (Peripheral) akan menimbulkan nyeri dan kesemutan pada telapak tangan dan kaki, reflek tendon yang kurang, selalu mengalami tensi darah rendah dan Impoten.
·      System Integument (Jaringan kulit). Penderita mengalami serangan virus cacar air (herpes simplex) atau carar api (herpes zoster) dan berbagai macam penyakit kulit yang menimbulkan rasa nyeri pada jaringan kulit. Lainnya adalah mengalami infeksi jaringan rambut pada kulit (Folliculities), kulit kering berbercak (kulit lapisan luar retak-retak) serta Eczema atau psoriasis.
·      Saluran kemih dan Reproduksi pada wanita. Penderita seringkali mengalami penyakit jamur pada vagina, hal ini sebagai tanda awal terinfeksi virus HIV. Luka pada saluran kemih, menderita penyakit syphillis dan dibandingkan Pria maka wanita lebih banyak jumlahnya yang menderita penyakit cacar. Lainnya adalah penderita AIDS wanita banyak yang mengalami peradangan rongga (tulang) pelvic dikenal sebagai istilah ‘pelvic inflammatory disease (PID)’ dan mengalami masa haid yang tidak teratur (abnormal).


II.      3. Penularan Penyakit HIV/AIDS
Virus HIV ditemukan dalam cairan tubuh manusia, dan paling banyak ditemukan pada darah, cairan sperma dan cairan vagina. Pada cairan tubuh lain bisa juga ditemukan, misalnya air susu ibu dan juga air liur, tapi jumlahnya sangat sedikit (Andy, 2011)..
Sejumlah 75-85% penularan virus ini terjadi melalui hubungan seks (5-10% diantaranya melalui hubungan homoseksual), 5-10% akibat alat suntik yang tercemar (terutama para pemakai narkoba suntik yang dipakai bergantian), 3-5% dapat terjadi melalui transfusi darah yang tercemar (Andy, 2011).
Infeksi HIV sebagian besar (lebih dari 80%) diderita oleh kelompok usia produktif (15-50 tahun) terutama laki-laki, tetapi proporsi penderita wanita cenderung meningkat (Andy, 2011).
Infeksi pada bayi dan anak-anak 90% terjadi dari ibu yang mengidap HIV. sekitar 25-35% bayi yang dilahirkan ibu yang terinfeksi HIV, akan tertular virus tersebut melalui infeksi yang terjadi selama dalam kandungan, proses persalinan dan pemberian ASI (Andy, 2011).
Dengan pengobatan antiretroviral pada ibu hamil trimester terakhir, resiko penularan dapat dikurangi menjadi 8%(Andy, 2011).
Penelitian baru menunjukkan bahwa perempuan HIV-positif yang hamil tidak menjadi lebih sakit dibandingkan yang tidak hamil. Ini berarti menjadi hamil tidak mempengaruhi kesehatan perempuan HIV-positif(Andy, 2011).
Menurut Yopan (2012), peningkatan kerentanan untuk terinfeksi HIV selama kehamilan adalah mereka yang berperilaku seks bebas dan mungkin karena penyebab biologis yang tidak diketahui.


Ada beberapa cara penularan HIV/AIDS yaitu sebagai berikut :
a.    Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV (Yopan, 2012).
b.   Transmisi Non Seksual
·      Transmisi Parenral
Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%.
Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90% (Yopan, 2012).
·      Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah (Yopan, 2012).
c.    Penularan Masa Prenatal
HIV dapat ditularkan dari ibu ke bayinya dengan tiga cara yaitu di dalam uterus (lewat plasenta), sewaktu persalinan dan melalui air susu ibu. Pada bayi yang menyusui kira-kira separuhnya transmisi terjadi sewaktu sekitar persalinan, sepertiganya melalui menyusui ibu dan sebagian kecil di dalam uterus. Bayi terinfeksi yang tidak disusui ibunya, kira-kira dua pertiga dari transmisi terjadi sewaktu atau dekat dengan persalinan dan sepertiganya di dalam uterus (Ayu, 2012).
ü Kehamilan
Menurut Ayu (2012), kehamilan bisa berbahaya bagi wanita dengan HIV atau AIDS selama persalinan dan melahirkan. Ibu sering akan mengalami masalah-masalah sebagai berikut :
1)   Keguguran
2)   Demam, infeksi dan kesehatan menurun.
3)   Infeksi serius setelah melahirkan, yang sukar untuk di rawat dan mungkin mengancam jiwa ibu.
ü Melahirkan
Setelah melahirkan cucilah alat genitalia 2 kali sehari dengan sabun dan air bersih sehingga terlindungi dari infeksi (Yopan, 2012).
ü Menyusui
Menyusui meningkatkan risiko penularan sebesar 4%. Infeksi HIV kadang-kadang ditularkan ke bayi melalui air susu ibu (ASI). Saat ini belum diketahui dengan pasti frekuensi kejadian seperti ini atau mengapa hanya terjadi pada beberapa bayi tertentu tetapi tidak pada bayi yang lain. Di ASI terdapat lebih banyak virus HIV pada ibu-ibu yang baru saja terkena infeksi dan ibu-ibu yang telah memperlihatkan tanda-tanda penyakit AIDS. Setelah 6 bulan, sewaktu bayi menjadi lebih kuat dan besar, bahaya diare dan infeksi menjadi lebih baik. ASI dapat diganti dengan susu lain dan memberikan makanan tambahan. Dengan cara ini bayi akan mendapat manfaat ASI dengan resiko lebih kecil untuk terkena HIV (Yopan, 2012).
II.      4. Penanganan Penyakit HIV/AIDS
Sampai saat ini tidak ada vaksin atau obat untuk HIV atau AIDS. Metode satu-satunya yang diketahui untuk pencegahan didasarkan pada penghindaran kontak dengan virus atau, jika gagal, perawatan antiretrovirus secara langsung setelah kontak dengan virus secara signifikan, disebut post-exposure prophylaxis (PEP). PEP memiliki jadwal empat minggu takaran yang menuntut banyak waktu. PEP juga memiliki efek samping yang tidak menyenangkan seperti diare, tidak enak badan, mual, dan lelah (Yopan, 2012).
Berbagai upaya telah dilakukan dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia antara lain: KIE, promosi perilaku seksual aman, penyediaan darah transfusi yang aman dari HIV, pemasaran kondom, pemeriksaan dan pengobatan IMS, surveilans HIV/STS, surveilans AIDS, layanan VCT yang masih terbatas pada RS tertentu dan LSM, pelatihan bagi petugas kesehatan serta lintas sektor (universal precaution, VCT), pengobatan dan perawatan ODHA yang masih terbatas, dan penelitian perilaku pada kelompok risiko tinggi (Yopan, 2012).
Kendatipun dari berbagai negara terus melakukan researchnya dalam mengatasi HIV AIDS, namun hingga saat ini penyakit AIDS tidak ada obatnya termasuk serum maupun vaksin yang dapat menyembuhkan manusia dari Virus HIV penyebab penyakit AIDS. Adapun tujuan pemberian obat-obatan pada penderita AIDS adalah untuk membantu memperbaiki daya tahan tubuh, meningkatkan kualitas hidup bagi meraka yang diketahui terserang virus HIV dalam upaya mengurangi angka kelahiran dan kematian (Yopan, 2012).
Antibiotik adalah pengobatan untuk gonore. Pasangan seksual juga harus diperiksa dan diobati sesegera mungkin bila terdiagnosis gonore. Hal ini berlaku untuk pasangan seksual dalam 2 bulan terakhir, atau pasangan seksual terakhir bila selama 2 bulan ini tidak ada aktivitas seksual. Banyak antibiotika yang aman dan efektif untuk mengobati gonorrhea, membasmi N.gonorrhoeae, menghentikan rantai penularan, mengurangi gejala, dan mengurangi kemungkinan terjadinya gejala sisa (Yopan, 2012).
Ada beberapa cara untuk mengobati atau menangani HIV/AIDS, yaitu:
·      Terapi Anti Virus
Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat aktif (highly active antiretroviral therapy, disingkat HAART). Terapi ini telah sangat bermanfaat bagi orang-orang yang terinfeksi HIV sejak tahun 1996, yaitu setelah ditemukannya HAART yang menggunakan protease inhibitor. Pilihan terbaik HAART saat ini, berupa kombinasi dari setidaknya tiga obat ( disebut koktail ) yang terdiri dari paling sedikit dua macam ( atau kelas ) bahan antiretrovirus. Kombinasi yang umum digunakan adalah nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitor (atau NRTI) dengan protease inhibitor, atau dengan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Karena penyakit HIV lebih cepat perkembangannya pada anak-anak daripada pada orang dewasa, maka rekomendasi perawatannya pun lebih agresif untuk anak-anak daripada untuk orang dewasa. Di negara-negara berkembang yang menyediakan perawatan HAART, seorang dokter akan mempertimbangkan kuantitas beban virus, kecepatan berkurangnya CD4, serta kesiapan mental pasien, saat memilih waktu memulai perawatan awal (Yopan, 2012).
Perawatan HAART memungkinkan stabilnya gejala dan viremia (banyaknya jumlah virus dalam darah) pada pasien, tetapi ia tidak menyembuhkannya dari HIV ataupun menghilangkan gejalanya. HIV-1 dalam tingkat yang tinggi sering resisten terhadap HAART dan gejalanya kembali setelah perawatan dihentikan. Lagi pula, dibutuhkan waktu lebih dari seumur hidup seseorang untuk membersihkan infeksi HIV dengan menggunakan HAART. Meskipun demikian, banyak pengidap HIV mengalami perbaikan yang hebat pada kesehatan umum dan kualitas hidup mereka, sehingga terjadi adanya penurunan drastis atas tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) karena HIV (Yopan, 2012).
Tanpa perawatan HAART, berubahnya infeksi HIV menjadi AIDS terjadi dengan kecepatan rata-rata (median) antara sembilan sampai sepuluh tahun, dan selanjutnya waktu bertahan setelah terjangkit AIDS hanyalah 9.2 bulan. Penerapan HAART dianggap meningkatkan waktu bertahan pasien selama 4 sampai 12 tahun. Bagi beberapa pasien lainnya, yang jumlahnya mungkin lebih dari lima puluh persen, perawatan HAART memberikan hasil jauh dari optimal. Hal ini karena adanya efek samping/dampak pengobatan tidak bisa ditolerir, terapi antiretrovirus sebelumnya yang tidak efektif, dan infeksi HIV tertentu yang resisten obat (Yopan, 2012).
Ketidaktaatan dan ketidak teraturan dalam menerapkan terapi antiretrovirus adalah alasan utama mengapa kebanyakan individu gagal memperoleh manfaat dari penerapan HAART. Terdapat bermacam-macam alasan atas sikap tidak taat dan tidak teratur untuk penerapan HAART tersebut. Isyu-isyu psikososial yang utama ialah kurangnya akses atas fasilitas kesehatan, kurangnya dukungan sosial, penyakit kejiwaan, serta penyalahgunaan obat. Perawatan HAART juga kompleks, karena adanya beragam kombinasi jumlah pil, frekuensi dosis, pembatasan makan, dan lain-lain yang harus dijalankan secara rutin. Berbagai efek samping yang juga menimbulkan keengganan untuk teratur dalam penerapan HAART, antara lain lipodistrofidislipidaemiapenolakan insulin, peningkatan risiko sistem kardiovaskular, dan kelainan bawaan pada bayi yang dilahirkan (Yopan, 2012).
Obat anti-retrovirus berharga mahal, dan mayoritas individu terinfeksi di dunia tidaklah memiliki akses terhadap pengobatan dan perawatan untuk HIV dan AIDS tersebut (Yopan, 2012).
·      Penanganan eksperimental dan saran
Telah terdapat pendapat bahwa hanya vaksin lah yang sesuai untuk menahan epidemik global (pandemik) karena biaya vaksin lebih murah dari biaya pengobatan lainnya, sehingga negara-negara berkembang mampu mengadakannya dan pasien tidak membutuhkan perawatan harian. Namun setelah lebih dari 20 tahun penelitian, HIV-1 tetap merupakan target yang sulit bagi vaksin (Yopan, 2012).
Beragam penelitian untuk meningkatkan perawatan termasuk usaha mengurangi efek samping obat, penyederhanaan kombinasi obat-obatan untuk memudahkan pemakaian, dan penentuan urutan kombinasi pengobatan terbaik untuk menghadapi adanya resistensi obat. Beberapa penelitian menunjukan bahwa langkah-langkah pencegahan infeksi oportunistik dapat menjadi bermanfaat ketika menangani pasien dengan infeksi HIV atau AIDS. Vaksinasi atas hepatitis A dan B disarankan untuk pasien yang belum terinfeksi virus ini dan dalam berisiko terinfeksi. Pasien yang mengalami penekanan daya tahan tubuh yang besar juga disarankan mendapatkan terapi pencegahan (propilaktik) untuk pneumonia pneumosistis, demikian juga pasien toksoplasmosis dan kriptokokus meningitis yang akan banyak pula mendapatkan manfaat dari terapi propilaktik tersebut (Yopan, 2012).
·      Pengobatan alternatif
Berbagai bentuk pengobatan alternatif digunakan untuk menangani gejala atau mengubah arah perkembangan penyakit. Akupunktur telah digunakan untuk mengatasi beberapa gejala, misalnya kelainan syaraf tepi (peripheral neuropathy) seperti kaki kram, kesemutan atau nyeri, namun tidak menyembuhkan infeksi HIV. Tes-tes uji acak klinis terhadap efek obat-obatan jamu menunjukkan bahwa tidak terdapat bukti bahwa tanaman-tanaman obat tersebut memiliki dampak pada perkembangan penyakit ini, tetapi malah kemungkinan memberi beragam efek samping negatif yang serius (Yopan, 2012).
Beberapa data memperlihatkan bahwa suplemen multivitamin dan mineral kemungkinan mengurangi perkembangan penyakit HIV pada orang dewasa, meskipun tidak ada bukti yang menyakinkan bahwa tingkat kematian (mortalitas) akan berkurang pada orang-orang yang memiliki status nutrisi yang baik. Suplemen vitamin A pada anak-anak kemungkinan juga memiliki beberapa manfaat. Pemakaian seleniumdengan dosis rutin harian dapat menurunkan beban tekanan virus HIV melalui terjadinya peningkatan pada jumlah CD4. Selenium dapat digunakan sebagai terapi pendamping terhadap berbagai penanganan antivirus yang standar, tetapi tidak dapat digunakan sendiri untuk menurunkan mortalitas dan morbiditas (Yopan, 2012).
Penyelidikan terakhir menunjukkan bahwa terapi pengobatan alternatif memiliki hanya sedikit efek terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit ini, namun dapat meningkatkan kualitas hidup individu yang mengidap AIDS. Manfaat-manfaat psikologis dari beragam terapi alternatif tersebut sesungguhnya adalah manfaat paling penting dari pemakaiannya (Yopan, 2012).
II.      5. Pencegahan Penyakit HIV/AIDS pada ibu hamil
Menurut Yopan (2012), penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah melalui empat cara, mulai saat hamil, saat melahirkan, dan setelah lahir yaitu:
·      Penggunaan antiretroviral selama kehamilan
·      Penggunaan antiretroviral saat perasalinan dan bayi bayi yang baru dilahirkan
·      Penatalaksanan selama menyusui
Bayi dari ibu yang terinfeksi HIV memperlihatkan antibody terhadap virus tersebut hingga 10 sampai 18 bulan setelah lahir karena penyaluran IgG anti-HIV ibu menembus plasenta. Karena itu, uji terhadap serum bayi untuk mencari ada tidaknya antibodi IgG ,erupakan hal yang sia-sia, karena uji ini tidak dapat membedakan antibody bayi dari antibody ibu. Sebagian besar dari bayi ini, seiring dengan waktu, akan berhenti memperlihatkan antibody ibu dan juga tidak membentuk sendiri antibody terhadap virus, yang menunjukkan status seronegatif. Pada bayi, infeksi HIV sejati dapat diketahui melalui pemeriksaan-pemeriksaan seperti biakan virus, antigen p24, atau analisis PCR untuk RNA atau DNA virus. PCR DNA HIV adalah uji virologik yang dianjurkan karena sensitive untuk mendiagnosis infeksi HIV selama masa neonatus (Yopan, 2012).
Selama ini, mekanisme penularan HIV dari ibu kepada janinnya masih belum diketahui pasti. Angka penularan bervariasi dari sekitar 25% pada populasi yang tidak menyusui dan tidak diobati di negara-negara industri sampai sekitar 40% pada populasi serupa di negara-negara yang sedang berkembang. Tanpa menyusui, sekitar 20% dari infeksi HIV pada bayi terjadi in utero dan 80% terjadi selama persalinan dan pelahiran. Penularan pascapartus dapat terjadi melalui kolostrum dan ASI dan diperkirakan menimbulkan tambahan risiko 15% penularan perinatal (Yopan, 2012).
Menurut Yopan (2012), factor ibu yang berkaitan dengan peningkatan risiko penularan mencakup penyakit ibu yang lanjut, kadar virus dalam serum yang tinggi, dan hitung sel T CD4+ yang rendah. Pada tahun 1994, studi 076 dari the Pediatric AIDS Clinical Trials Group (PACTG) membuktikan bahwa pemberian zidovudin kepada perempuan hamil yang terinfeksi HIV mengurangi penularan ibu ke bayi sebesar dua pertiga dari 25% menjadi 8%. Di Amerika Serikat, insiden AIDS yang ditularkan pada masa perinatal turun 67% dari tahun 1992 sampai 1997 akibat uji HIV ibu prenatal dan profilaksis prenatal dengan terapi zidovudin. Perempuan merupakan sekitar 20% dari kasus HIV-AIDS di Amerika Serikat. Perempuan dari kaum minoritas (Amerika Afrika dan keturunan Spanyol) lebih banyak terkena, merupakan 85% dari seluruh kasus AIDS. Selain pemberian zidovudin oral kepada ibu positif HIV selama masa hamil, tindakan-tindakan lain yang dianjurkan untuk mengurangi risiko penularan HIV ibu kepada anak antaea lain:
1)   seksio sesaria sebelum tanda-tanda partus dan pecahnya ketuban (mengurangi angka penularan sebesar 50%);
2)   pemberian zidovudin intravena selama persalinan dan pelahiran;
3)   pemberian sirup zidovudin kepada bayi setelah lahir;
4)   tidak memberi ASI
Data menunjukkan bahwa perkembangan penyakit mengalami percapatan pada anak. Fase asimptomatik lebih singkat pada anak yang terjangkit virus melalui penularan vertical. Waktu median sampai awitan gejala lebih kecil pada anak, dan setelah gejala muncul, progresivitas penyakit menuju kematian dipercepat. Pada tahun 1994, CDC merevisi sistem klasfikasi untuk infeksi HIV pada anak berusia kurang dari 13 tahun. Pada sistem ini, anak yang terinfeksi diklasifikasikan menjadi kategori-kategori berdasarkan tiga parameter: status infeksi, status klinis, dan status imunologik (Yopan, 2012).
Perjalanan infeksi HIV pada anak dan dewasa memiliki kemiripan dan perbedaan. Pada anak sering terjadi disfungsi sel B sebelum terjadi perubahan dalam jumlah limfosit CD4+. Akibat disfungsi sistem imun ini, anak rentan mengalami infeksi bakteri rekuren. Invasi oleh pathogen-patogen bakteri ini menyebabkan berbagai sindrom klinis pada anak seperti otitis media, sinusitis, infeksi saluran kemih, meningitis infeksi pernapasan, penyakit GI, dan penyakit lain (Yopan, 2012).
Seluruh dunia, pada tahun 2008 diperkirakan 430.000 [240.000-610.000] infeksi baru karena human immunodeficiency virus (HIV) terjadi pada anak-anak, yang 90% diperoleh melalui motherto-child transmission (MTCT) HIV. Dari 430.000 infeksi baru, antara 280 dan 360.000.000 diperoleh selama persalinan danpada periode pra-melahirkan. Dari infeksi baruyang tersisa, sebagian besar diperoleh selama menyusui. Pada bayi yang terjangkit HIV selama waktu persalinan, perkembangan penyakit terjadi sangat cepat dalam beberapa bulanp ertama kehidupan, sering menyebabkan kematian. Untuk mengaktifkan antiretroviral (ARV) profilaksis harus diberikan kepada bayi sesegera mungkin setelah lahir, semua bayi yang memiliki status pajanan HIV harus diketahui sejak lahir (Yopan, 2012).
Data terbaru yang diterbitkan mengkonfirmasi manfaat kelangsungan hidup dramatis  bagi bayi yang  mulai diberikan ART sedini mungkin setelah diagnosis HIV, diperoleh dari review Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pedoman pengobatan pediatrik. Pada Juni 2008, pedoman baru dikeluarkan, yang merekomendasikan inisiasi ART segera pada bayi didiagnosis dengan infeksi HIV. Dalam rangka untuk mengidentifisikan bayi yang akan membutuhkan ART segera, konfirmasi awal dari infeksi HIV diperlukan. Pada November 2008, pertemuan diadakan untuk meninjau rekomendasioleh WHO untuk pengujian diagnostikinfeksi HIVpada bayi dan anak-anak (Yopan, 2012).
BAB III
PENUTUP
III.   1. Kesimpulan
AIDS merupakan masalah kesehatan internasional yang perlu segera ditanggulangi. AIDS berkembang secara pandemi hampir di setiap negara di Dunia, termasuk Indonesia.
Sampai saat ini obat dan vaksin untuk menaggulangi AIDS belum ditemukan. Untuk itu alternatif lain yang lebih mendekati dalam upaya pencegahan. Upaya pencegahan dapat dilakukan oleh semua pihak asal mengetahui cara-cara penularan AIDS.
Penularan AIDS terjadi melalui hubungan seksual, parental dan transplasental, sehingga upaya pencegahan perlu diarahkan untuk merubah perilaku seksual masyarakat (terutama yang memilikiki resiko tinggi), menghindari infeksi melalui donor darah, dan upaya pencegahan infeksi perinatal sebelum ibu hamil. Perubahan perilaku dilakukan dengan penyuluhan kesehatan.
III.   2. Saran
Semoga Makalah ini dapat berguna bagi penyusun dan pembaca. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk pengerjaan berikutnya yang lebih baik

Daftar Pustaka
Andy. 2011. HIV/AIDS Pada Ibu Hamilhttp://ilmu-pasti-pengungkap-kebenaran.blogspot.com/2011/11/hivaids-pada-ibu-hamil.html. Diakses tanggal 09 April 2013
Ayu. 2012. Pengaruh HIV/AIDS Terhadap Sistem Kekebalan Tubuhhttp://ayups87.wordpress.com/2012/06/16/makalah-pengaruh-hivaids-terhadap-sistem-kekebalan-tubuh-manusia/. Diakses tanggal 09 April 2013
Yopan. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Ibu Hamil Dengan HIV/AIDShttp://yopangumilar.blogspot.com/2012/03/makalah-askep-pada-ibu-hamil-dengan.html. Diakses tanggal 09 April 2013